Jakarta
Bentrokan TNI dengan Polri yang terjadi di Gorontalo
jangan sampai terulang. Kejadian itu harus menjadi yang terakhir. Jangan
sampai citra TNI dan kepolisian sebagai abdi negara ternodai. Belum
lagi urusan geng motor yang membuat takut rakyat.
"Bentrok TNI-Polri, termasuk keterlibatan di kasus geng motor, menunjukkan watak TNI tidak banyak berubah apalagi mencapai langkah maju. Kasus-kasus seperti itu memalukan," jelas aktivis HAM Usman Hamid saat berbincang, Selasa (24/4/2012).
Usman melanjutkan, minimal ada dua sebab penyebab munculnya kembali peristiwa tersebut secara berulang. Pertama, akibat tidak adanya sistem kelembagaan yang efektif dalam menyisihkan perwira yang bermasalah dan mempromosikan mereka yang berprestasi, atau mencampurkan antara perlunya menghukum dengan menjaga nama institusi.
"Selama tak ada ketegasan menyisihkan maka kasus kejahatan militer akan selalu bisa terjadi. Penyisihan adalah penilaian integritas seseorang untuk menentukan kelayakan mereka, apakah melanjutkan jabatan, atau mendapat promosi pangkat dengan memperhatikan rekam jejaknya di bidang hukum dan penghormatan atas hak asasi manusia," terangnya.
Di sisi lain, Usman menilai, pimpinan sering menutupi setiap ada perbuatan kriminal perwira yg jelas-jelas merugikan warga masyarakat. "Pengusutan terbuka serta penghukuman masih dianggap sebagai hal yang tabu dan mencemarkan citra insitusi," jelasnya.
Kemudian, tambah Usman, yang kedua soal elite-elite tertentu yang berwenang, sering hanya mencari alasan-alasan legal, politis dan teknis. Jadi bukan soal kurang pengawasan.
"Elite-elite sipil dan militer sendiri terlalu menyibukkan diri dengan urusan-urusan non-pertahanan. Mulai dari memperkaya diri dari bisnis sampai berpolitik praktis. Hanya sedikit yang peduli pada nasib dan kesejahteraan prajurit di lapangan," tuturnya.
(ndr/vta)
"Bentrok TNI-Polri, termasuk keterlibatan di kasus geng motor, menunjukkan watak TNI tidak banyak berubah apalagi mencapai langkah maju. Kasus-kasus seperti itu memalukan," jelas aktivis HAM Usman Hamid saat berbincang, Selasa (24/4/2012).
Usman melanjutkan, minimal ada dua sebab penyebab munculnya kembali peristiwa tersebut secara berulang. Pertama, akibat tidak adanya sistem kelembagaan yang efektif dalam menyisihkan perwira yang bermasalah dan mempromosikan mereka yang berprestasi, atau mencampurkan antara perlunya menghukum dengan menjaga nama institusi.
"Selama tak ada ketegasan menyisihkan maka kasus kejahatan militer akan selalu bisa terjadi. Penyisihan adalah penilaian integritas seseorang untuk menentukan kelayakan mereka, apakah melanjutkan jabatan, atau mendapat promosi pangkat dengan memperhatikan rekam jejaknya di bidang hukum dan penghormatan atas hak asasi manusia," terangnya.
Di sisi lain, Usman menilai, pimpinan sering menutupi setiap ada perbuatan kriminal perwira yg jelas-jelas merugikan warga masyarakat. "Pengusutan terbuka serta penghukuman masih dianggap sebagai hal yang tabu dan mencemarkan citra insitusi," jelasnya.
Kemudian, tambah Usman, yang kedua soal elite-elite tertentu yang berwenang, sering hanya mencari alasan-alasan legal, politis dan teknis. Jadi bukan soal kurang pengawasan.
"Elite-elite sipil dan militer sendiri terlalu menyibukkan diri dengan urusan-urusan non-pertahanan. Mulai dari memperkaya diri dari bisnis sampai berpolitik praktis. Hanya sedikit yang peduli pada nasib dan kesejahteraan prajurit di lapangan," tuturnya.
(ndr/vta)